> Menganalisis Novel

Kelebihan novel yang khas terletak pada kemampuan menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh. Hal itu berarti, menganalisis novel menjadi lebih mudah, sekaligus lebih sulit daripada menganalisis cerpen. 
Ia lebih mudah karena tidak menuntut kita memahami masalah yang kompleks dalam waktu sedikit. Sebaliknya, ia lebih sulit karena berupa penulisan dalam skala yang besar yang berisi unit organisasi atau bangunan yang lebih besar daripada cerpen.
Hal yang dimaksud dipaparkan berikut ini.
1. Latar.
Pelukisan latar novel dapat saja melukiskan keadaan latar secara terperinci sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret, dan pasti. Walaupun demikian, cerita yang baik hanya akan melukiskan detail-detail tertentu yang dipandang perlu.
2. Penokohan. 
Tokoh-tokoh cerita novel biasanya ditampilkan secara lebih lengkap, misalnya yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, tingkah laku, sifat dan kebiasaan, serta hubungan antartokoh, baik yang dilukiskan secara langsung maupun tak langsung. Semua itu, tentu saja akan memberi gambaran yang lebih jelas dan konkret mengenai keadaan para tokoh. Itulah sebabnya tokoh-tokoh cerita novel dapat lebih mengesankan.
3. Alur.
 Berhubung ketidakterikatan pada panjang cerita yang memberi kebebasan kepada pengarang, umumnya novel memiliki lebih dari satu alur; terdiri atas satu alur utama dan subalur. Alur utama berisi konflik utama yang menjadi inti persoalan yang diceritakan sepanjang karya itu, sedangkan subalur berupa konflikkonflik tambahan yang sifatnya menopang, memperjelas dan mengintensifkan konflik utama untuk sampai ke klimaks. 
Alur-alur tambahan atau subalur itu berisi konflik-konflik yang mungkin tidak sama kadar kepentingan atau peran terhadap alur utama. Setiap subalur berjalan sendiri, sekaligus dengan penyelesaiannya sendiri pula, yang tetap berkaitan satu dengan yang lain dan tetap dalam hubungan dengan alur utama.     
4. Tema.   
Dalam novel diungkapkan berbagai masalah kehidupan yang semuanya akan disampaikan pengarang. Namun, sebagaimana peran subalur terhadap alur utama, tema-tema tambahan itu bersifat menopang dan berkaitan dengan tema utama untuk mencapai efek kepaduan.  

> Menganalisis Pementasan Drama

Sebelum dipentaskan, naskah drama merupakan bagian dari karya sastra. Adapun saat dipentaskan, karya tersebut berubah menjadi karya pementasan. Pementasan drama yang baik bergantung pada kepaduan unsur dialog (pemain), sutradara, musik, sampai penata panggung.  
Adapun dalam teknik pementasan yang berhubungan langsung dengan naskah adalah para pemain itu sendiri yang diarahkan oleh sang sutradara. 
Agar berhasil mementaskan tokoh-tokoh, para pemain harus dipilih secara tepat.  Berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan oleh setiap calon pemain sebelum mementaskan drama. 
1. Pertama-tama naskah drama yang sudah dipilih itu harus dibaca berulang-ulang agar semuanya dapat dipahami. Dari dialog para tokoh (dan penjelasan lain) dapat diketahui watak tiap-tiap tokoh dalam naskah drama itu.  
2. Setelah diketahui watak tiap-tiap tokoh, dipilih pemain yang cocok dan mampu memerankan setiap tokoh.  
3. Selain pertimbangan watak, perlu dipertimbangkan perbandingan usia dan perkiraan perawakan (postur). Tokoh-tokoh yang tidak dijelaskan perawakannya, ditentukan berdasarkan perkiraan saja. Kalau tokoh yang diperankan itu orang tua, sedangkan pemainnya remaja, bisa diatur agar pemain remaja itu tampak  tua. Caranya, rambutnya dibuat memutih dengan diolesi bedak, wajahnya dibuat garis-garis hitam hingga tampak keriput, memakai kacamata dan kumis palsu. Warna dan model pakaian yang dikenakan juga disesuaikan dengan kepantasan bagi orang tua.  
4. Kemampuan pemain menjadi pertimbangan penting pula. Sebaiknya, dipilih pemain yang “pintar”. Artinya, dalam waktu tidak terlalu lama berlatihnya, dia sudah bisa memainkan tokoh seperti yang dikehendaki naskah.  Adapun bagi seorang sutradara, ia harus mempertimbangkan naskah yang akan dipentaskan. 

Dalam hal ini, sutradara harus bisa merenungkan dan menafsirkan naskah. Ia harus memikirkan bagaimana nantinya naskah diperankan. Seorang sutradara harus bisa membayangkan bagaimana pemilihan tokoh, penentuan setting panggung, sampai tata rias yang cocok untuk para pemain. 
Hal lain yang harus diperhatikan saat pementasan drama adalah blocking (posisi tokoh di atas pentas); tata busana yang dipakai para tokoh; tata panggung yang menggambarkan peristiwa; serta tata bunyi dan tata lampu.  
1. Posisi Tokoh di Atas Pentas (Blocking) 
Dalam melakukan gerak kerja panggung, hal-hal berikut perlu diperhatikan dan dilaksanakan.
a. Gerak panggung hanya dikerjakan kalau ada maksud dan tujuan. 
b. Gerak panggung menarik perhatian penonton. 
c. Gerak panggung boleh dikerjakan (dilakukan) sambil berbicara atau berurutan. Kalau berbicara dulu lalu bergerak, yang diutamakan geraknya (gerakannya menjadi kuat/menonjol). Kalau bergerak dulu lalu berbicara, yang diutamakan bicaranya (kalimat yang diucapkan menjadi lebih berbobot dan bertenaga). 
d. Gerak panggung hanya dilakukan dengan gerak maju, bukan gerak mundur atau menyamping, kecuali ada alasan tertentu. 
e. Gerak panggung yang cepat menunjukkan adanya sesuatu yang penting. Sebaliknya, gerakan lambat menunjukkan kesedihan, keputusasaan, atau kekhidmatan.  
2. Tata Busana 
Tata busana adalah pengaturan pakaian pemain, baik bahan, model, maupun cara mengenakannya. Tata busana sebenarnya mempunyai hubungan yang erat sekali dengan tata rias. Oleh karena itu, tugas mengatur pakaian pemain sering dirangkap penata rias. Artinya, penata rias sekaligus juga menjadi penata busana karena untuk menampakkan rupa dan postur tokoh yang diperankan, pemain harus dirias dengan pakaian yang cocok. 
Dengan kata lain, tata rias dan tata busana merupakan dua hal yang saling berhubungan dan saling mendukung.  Sering pula terjadi tugas penata rias dipisahkan dari tugas mengatur pakaian. Artinya, penata rias khusus merias wajah, sedangkan penata busana mengatur pakaian/busana dengan pertimbangan untuk mempermudah dan mempercepat kerja. Meskipun demikian, penata rias dan penata busana harus bekerja sama saling memahami, saling menyesuaikan, dan saling membantu agar hasil akhirnya memuaskan.  
Tata rias dan tata busana tidak dijelaskan secara terperinci dalam naskah. Biasanya hanya ditulis: seorang tua, seorang kakek, seorang nenek, seorang ayah, atau seorang pemuda. Dalam hal ini, tidak dijelaskan  bagaimana orang tua itu. Apakah wajahnya keriput, giginya ompong, rambutnya putih, alisnya tebal, hidungnya mancung, bajunya kumal, atau tubuhnya bongkok, semuanya tidak dijelaskan. 
Oleh karena itu, penata rias dan penata busana harus mampu menafsirkan dan memantasmantaskan rias dan pakaian orang tua yang disebutkan dalam naskah itu.  Adapun peran dan fungsi tata busana dalam pementasan adalah sebagai berikut:
a. mendukung pengembangan watak pemain; 
b. membangkitkan daya saran dan daya suasana; 
c. personalisasi pemain, yaitu untuk membedakan satu pemaindengan pemain lainnya.  
3. Tata Panggung 
Panggung adalah pentas atau arena untuk bermain drama. Panggung biasanya letaknya di depan tempat duduk penonton dan lebih tinggi daripada kursi penonton. 
Tujuannya, agar penonton yang duduk di kursi paling belakang masih bisa melihat yang ada di panggung.  Tata panggung adalah keadaan panggung yang dibutuhkan untuk permainan drama. Misalnya, panggung harus menggambarkan keadaan ruang tamu. Supaya panggung seperti ruang tamu, tentu panggung diisi peralatan seperti meja kursi, hiasan dinding, dan lainlain. Semua peralatan itu diatur sedemikian rupa sehingga seperti ruang tamu. Petugas yang mengatur itu disebut penata panggung. 
Penata panggung biasanya terdiri atas beberapa orang (tim) supaya dapat mengubah keadaan panggung dengan cepat. Mengapa panggung perlu diubah-ubah?  Panggung menggambarkan tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Peristiwa yang terjadi dalam suatu babak berada dalam tempat, waktu, dan suasana yang berbeda dengan peristiwa dalam babak yang lain. Perbedaan ini menuntut perubahan keadaan panggung. 
Artinya, keadaan panggung harus diubah dengan cepat oleh penata panggung. Misalnya, dalam babak pertama panggung menggambarkan ruang tamu, bisa saja dalam babak kedua panggung menggambarkan tempat di tepi sungai. Perubahan panggung yang menggambarkan perubahan tempat itu sesuai dengan naskah cerita.  Penata panggung tugasnya hanya menuruti hal yang diminta naskah. Meskipun demikian, secara kreatif ia boleh menambah, mengurangi, atau mengubah letak perabot asal perubahan itu menambah baiknya keadaan panggung.  
Berkaitan dengan itu, penata panggung sebaiknya dipilih orang-orang yang mengerti keindahan dan tahu komposisi yang baik, meletakkan barang-barang di panggung tidak sembarangan. Hal ini disebabkan kegiatan mengatur barang-barang ada seninya. Barang-barang itu perlu diatur sebaik-baiknya supaya tampak serasi. Demikian pula jarak antara barang satu dan yang lain. Ini yang dimaksud komposisi. Komposisi yang tepat akan menimbulkan keindahan dan keindahan menimbulkan rasa senang.  
4. Tata Lampu 
Tata lampu adalah pengaturan cahaya di panggung. Oleh karena itu, tata lampu erat hubungannya dengan tata panggung. Misalnya, kalau panggung menggambarkan ruang rumah orang miskin di daerah terpencil, berdinding anyaman bambu dan di situ tertempel lampu minyak, lampu minyak itu tidak termasuk tata lampu. Lampu minyak itu menjadi bagian dari tata panggung meskipun menyala dan memancarkan cahaya.  
Orang yang mengatur seluk-beluk pencahayaan di panggung ialah penata lampu. Penata lampu biasanya menggunakan alat yang disebut spot light, yaitu semacam kotak besar berlensa yang berisi lampu ratusan watt. Jika dinyalakan, sinarnya terang sekali memancar ke satu arah. 
Penata lampu lalu menyorotkan dari jauh (biasanya dari belakang penonton) ke panggung. Lensa dapat diatur untuk menerangi seluruh panggung atau sebagian panggung. Jika dikehendaki, cahaya dapat dibuat menjadi redup. Warna cahaya juga dapat diubah sesuai dengan kebutuhan.  Caranya, lensa ditutup dengan kertas kaca warna merah, hijau, atau kuning. Misalnya, panggung menggambarkan suasana romantis, lensa ditutup dengan kertas kaca warna kuning. 
Banyaknya lembar kertas yang digunakan menentukan keredupan. Makin banyak/makin tebal, makin redup. Dengan cara seperti itu keadaan panggung menjadi seperti terang bulan. Jika panggung sedang menyajikan adegan tokoh yang marahmarah, kertas kaca warna merah digunakan sehingga sinar merah menerpa wajah tokoh yang sedang marah-marah itu.  
Karena tata lampu selalu berhubungan dengan listrik, sebaiknya penata lampu mengerti teknik kelistrikan. Ada kalanya lampu tiba-tiba harus dimatikan sejenak, lalu dihidupkan kembali. Ada kemungkinan tiba-tiba ada gangguan listrik, misalnya terjadi hubungan arus pendek sehingga lampu mati semua. Untuk menghadapi hal seperti itu penata lampu yang tidak memahami teknik kelistrikan tentu akan bingung. Akibatnya, pencahayaan di panggung kacau dan pertunjukan drama gagal total.  
5. Tata Suara 
Tata suara bukan hanya pengaturan pengeras suara (soundsystem), melainkan juga musik pengiring. Musik pengiring diperlukan agar suasana yang digambarkan terasa lebih meyakinkan dan lebih mantap bagi para penonton.  Iringan musik itu tidak dijelaskan secara terperinci dalam naskah. 
Penjelasannya hanya secara umum, misalnya diiringi musik pelan, musik sendu, atau musik sedih. Kadang-kadang malah tidak ada penjelasan sama sekali. Agaknya urusan musik pengiring ini  Penataan musik pengiring tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang sebab penata musik harus pintar menafsirkan musik pengiring yang cocok. 
Oleh karena itu, penata musik harus mempunyai perasaan yang halus dan tajam, berjiwa seni, memahami musik, dan mengerti lagu-lagu. Kalau sudah ada lagu yang cocok, tentu tinggal memainkan. Namun, jika belum ada lagu yang cocok, penata musik perlu mencipta lagu sendiri. Segala upaya ditempuh untuk menyuguhkan musik pengiring yang sesuai dengan adegan yang sedang berlangsung.  
Peralatan apa yang diperlukan untuk musik pengiring? Hal ini tidak ditentukan secara baku. Apa saja bisa digunakan asal cocok. Mungkin hanya sebuah biola, mungkin sebuah organ, mungkin seruling, gitar, tambur, mungkin pula lebih lengkap lagi. Ada kalanya, musik pengiring itu sudah direkam dalam pita kaset dan seorang penata suara tinggal mengoperasikan rekaman itu.

> Menulis Resensi Buku Novel

Dalam Pelajaran 3C, Anda telah belajar mengenal prinsipprinsip penulisan resensi. Dalam pelajaran tersebut, Anda mendapatkan pengetahuan mengenai prinsip-prisnsip resensi buku. Sebagai aplikasinya, perhatikanlah contoh resensi buku karya sastra (novel)berikut. 
 
Resensi Boulevard de Clichy – Agonia Cinta Monyet
Judul : Boulevard de Clichy -Agonia Cinta Monyet 
Penulis : Remy Sylado 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama 
Tanggal terbit : Maret  – 2007 
Jumlah halaman : 400 halaman 
Kategori : Novel  Anugrahati (Nunuk), seorang penari yang nasibnya membawa ia bekerja di Boulevard de Clinchy, kawasan prostitusi di pelosok Paris. Bermula dari kehidupan remaja SMA, Nunuk dan Budiman diceritakan sebagai sepasang remaja yang rela melakukan segalanya atas nama cinta.  
 
Campur tangan ibu Budiman dengan bantuan opo-opo (guna-guna) membuat Budiman lupa akan perbuatannya terhadap Nunuk, bahkan melupakan Nunuk, gadis yang dicintainya. Sebagai anak orang kaya, Budiman melanjutkan sekolah di Perancis, tetap dengan gaya anak pejabat yang lebih suka menghabis-habiskan uang daripada menggali ilmu pengetahuan yang bisa diperolehnya di sana.  
 
Sementara Nunuk yang punya keluarga di Belanda diceritakan memutuskan untuk membawa anaknya yang baru lahir dan tinggal bersama keluarga ibunya di Belanda, melanjutkan sekolah di sana. Pertemuannya dengan seorang pencari bakat turunan Turki membawanya berkelana mencari pengalaman baru di Paris, Perancis. Kisah yang juga sama dengan pencari TKW yang mengajak perempuan desa ke kota, ataupun ke luar negeri dengan janji pekerjaan demi kehidupan yang lebih baik.  Jalan cerita selanjutnya tidak terlalu sulit untuk ditebak.
Kepintaran Nunuk membawanya menjadi bintang di Boulevard de Clichy dengan julukan Météore de Java. Tutur cerita yang secara detil menggambarkan situasi Boulevard de Clichy, maupun gambaran detil perilaku pelakon cerita serta perasaan-perasaan mereka, menjadi daya tarik utama dari novel-novel karangan Remy Sylado.  
 
Sayangnya, akhir cerita yang terkesan terburuburu dan terlalu dipaksakan membuat kekuatan cerita menjadi berkurang. Cerita Budiman dan Nunuk yang kembali lagi ke tanah air dan bertemu kembali setelah terpisah selama 5 tahun ternyata tidak dikisahkan sedetil dan seindah novel di bagian awal. 
Akhir cerita lebih berwarna “fairy tale”, seperti kisah putri upik abu yang disunting pangeran kaya-raya.  Memang ini bukan kisah seribu satu malam, atau HC Andersen yang selalu mengatakan bahwa kejujuran dan kebaikan akan selalu menang dan juga  bahwa kemenangan dan kemuliaan bersumber dari usaha kerja keras dan penuh pengorbanan.
 
Oleh karena itu, sah-sah saja kalau jalan ceritanya menjadi demikian. Membaca bagian akhir buku ini tidak lebih dari sekadar ingin menuntaskan suatu pekerjaan yang sudah terlanjur dimulai, disertai harapan mudahmudahan novel Remy Sylado berikutnya dapat lebih hidup dan mengasyikkan sampai dengan akhir cerita.   Sumber: http://www.bukukita.com

> Prinsip-Prinsip Resensi Buku Sastra

Apakah Anda pernah membaca resensi buku sastra yang ada di media massa? Mungkin, setelah Anda membaca resensi buku tersebut, Anda tergugah untuk membeli buku tersebut. Hal tersebut merupakan manfaat resensi bagi calon pembaca sebuah buku. Anda pun dapat menulis resensi. Tentunya, Anda harus mengetahui apa saja prinsip-prinsip penulisan resensi buku sastra.  
Apakah resensi itu? Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas sebuah buku. 
Tindakan meresensi buku dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku. Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas.  
Apakah hanya buku yang bisa diresensi? Sebenarnya bidang garapan resensi cukup luas. Apabila diklasifikasikan, ada tiga bidang garapan resensi, yaitu 
(a) buku, baik fiksi maupun nonfiksi;
(b) pementasan seni, seperti film, sinetron, tari, drama, musik, atau kaset; 
(c) pameran seni, baik seni lukis maupun seni patung.  
1. Tujuan Resensi 
Sebelum meresensi, hendaknya peresensi memahami tujuan resensi. Apa sebenarnya tujuan resensi. Jika diamati, pemuatan resensi buku sekurang-kurangnya mempunyai lima tujuan, yaitu sebagai berikut. 
a. Memberikan informasi atau pemahaman yang komprehensif tentang apa yang tampak dan terungkap dalam sebuah buku.
b. Mengajak pembaca untuk memikirkan, merenungkan, dan mendiskusikan lebih jauh fenomena atau problema yang muncul dalam sebuah buku. 
c. Memberikan pertimbangan kepada pembaca apakah buku itu pantas mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak. 
d. Menjawab pertanyaan yang timbul jika seseorang melihat buku yang baru terbit, seperti berikut.
– Siapa pengarangnya?
– Mengapa ia menulis buku itu?
– Apa pernyataannya? 
– Bagaimana hubungannya dengan buku-buku sejenis karya pengarang yang sama? 
– Bagaimana hubungannya dengan buku-buku sejenis yang dihasilkan oleh pengarang-pengarang lain? e. Untuk segolongan pembaca, resensi mempunyai tujuan berikut: 
– membaca agar mendapatkan bimbingan dalam memilih buku;  
– setelah membaca resensi berminat untuk membaca atau mencocokkan seperti apa yang ditulis dalam resensi;
– tidak ada waktu untuk membaca buku, kemudian mengandalkan resensi sebagai sumber informasi.  
2. Dasar-Dasar Resensi 
Sebelum meresensi, peresensi perlu memahami dasar-dasar resensi. Apa sajakah dasar-dasarnya? Berikut ini penjelasannya. 
a. Peresensi memahami sepenuhnya tujuan pengarang buku itu. Tujuan pengarang dapat diketahui dari kata pengantar atau bagian pendahuluan buku. Kemudian, dicari apakah tujuan itu direalisasikan dalam seluruh bagian buku.  
b. Peresensi menyadari sepenuhnya tujuan meresensi karena sangat menentukan corak resensi yang akan dibuat.  
c. Peresensi memahami betul latar belakang pembaca yang menjadi sasarannya: selera, tingkat pendidikan, dari kalangan macam apa asalnya, dan sebagainya. Atas dasar itu, resensi yang dimuat surat kabar atau majalah tidak sama dengan yang dimuat pada surat kabar atau majalah yang lain.  
d. Peresensi memahami karakteristik media cetak yang akan memuat resensi. Setiap media cetak ini mempunyai identitas, termasuk dalam visi dan misi. Dengan demikian, kita akan mengetahui kebijakan dan resensi macam apa yang disukai oleh redaksi. Kesukaan redaksi ini akan tampak pada frekuensi jenis buku yang dimuat. 
Demikian pula, jenis buku yang dimuat biasanya sesuai dengan visi dan misinya.  Misalnya, majalah sastra tidak menampilkan resensi buku tentang teknik. Jenis buku yang dimuat pasti buku yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Demikian pula dengan majalah teknik dan filsafat. Selain itu, peresensi ada baiknya mengetahui media yang akan dituju, seperti surat kabar (nasional atau daerah), dan majalah (ilmiah, ilmiah populer, atau hiburan).  
3. Nilai Buku 
Kegiatan meresensi buku pada hakikatnya melakukan penilaian terhadap buku. Menilai berarti mengulas, mempertimbangkan, mengkritik, dan menunjukkan kelebihan-kelebihan serta kekurangankekurangan buku dengan penuh tanggung jawab. Dengan penuh tanggung jawab artinya mengajukan dasar-dasar atau argumen terhadap pendapatnya, dan kriteria-kriteria yang dipergunakan untuk  membentuk pendapatnya itu, serta data yang meyakinkan (dengan menyajikan kutipan-kutipan yang tepat dan relevan). 
Akan tetapi, sasaran penilaian (organisasi, isi, bahasa, dan teknik) itu sering sulit diterapkan secara mekanis. Suatu unsur, sering lebih mendapat tekanan daripada unsur yang lain. Hal yang patut diperhatikan sebaiknya tidak menggunakan salah satu unsur untuk menilai keseluruhan buku.  
Nilai buku akan lebih jelas apabila dibandingkan dengan karyakarya sejenis, baik yang ditulis oleh pengarang itu sendiri maupun yang ditulis oleh pengarang lain.  
4. Bahasa Resensi 
Bahasa resensi biasanya bernas (singkat-padat), tegas, dan tandas. Pemilihan karakter bahasa yang digunakan disesuaikan dengan karakter media cetak yang akan memuatnya dan karakter pembaca yang akan menjadi sasarannya. 
Pemilihan karakter bahasa berkaitan erat dengan masalah penyajian tulisan. Misalnya, tulisan yang runtut kalimatnya, ejaannya benar, tidak panjang lebar (bertele-tele), dan tidak terlalu banyak coretan atau bekas hapusan.  Di samping itu, penyajian tulisan resensi bersifat padat, singkat, mudah ditangkap, menarik, dan enak dibaca. 
Tulisan yang menarik dan enak dibaca artinya enak dibaca baik oleh redaktur (penanggung jawab rubrik) maupun pembaca. Kita perlu membiasakan diri membaca resensi itu dengan menempatkan diri sebagai redaktur atau pembaca. Untuk itu, kita mengambil jarak. Jadikanlah diri kita seolah-olah redaktur atau pembaca. Dengan cara ini, emosi kita sebagai penulis bisa ditanggalkan. Kita akan mampu melihat kekuatan dan kelemahan resensi kita. 
5. Kelebihan Resensi 
a. Tidak Basi Jika dibandingkan dengan tulisan lain, seperti berita, artikel, dan karangan khas (features), resensi lebih tahan lama. Artinya, andaipun resensi dikembalikan oleh redaksi, resensi itu masih dapat dikirim ke media lain. Demikian pula buku yang diresensi tidak harus buku yang baru terbit. 
Kita boleh meresensi buku yang terbit setahun yang lalu, asalkan buku itu belum pernah dimuat di media yang akan dituju. Meskipun demikian, pada umumnya buku yang diresensi, buku-buku yang baru terbit. 
b. Menambah Wawasan Informasi dari buku sangat berguna untuk menambah wawasan berpikir dan mengasah daya kritis. Kita juga bisa menilai apakah buku itu bermutu atau tidak. 
c. Keuntungan Finansial 
Jika resensi kita dimuat, kita tidak menerima honor dari redaksi saja, tetapi juga dari penerbit. Kalau fotokopi resensi itu dikirim ke penerbit, minimal buku baru yang kita dapat (jika penerbit tidak bersedia memberi honor). Biasanya penerbit akan memberi beberapa buah buku baru untuk diresensi kalau resensi buku kita sering dimuat di media cetak. Jadi, lumayan koleksi buku kita bertambah tanpa harus membeli.  
6. Pola Tulisan Resensi 
Ada tiga pola tulisan resensi buku, yaitu meringkas, menjabarkan, dan mengulas. 
a. Meringkas (sinopsis) berarti menyajikan semua persoalan buku secara padat dan jelas. Sebuah buku biasanya menyajikan banyak persoalan. Persoalan-persoalan itu sebaiknya diringkas. Untuk itu, perlu dipilih sejumlah masalah yang dianggap penting dan ditulis dalam suatu uraian yang bernas.  
b. Menjabarkan (deskripsi) berarti mengungkapkan hal-hal menonjol dari sinopsis yang sudah dibuat. Jika perlu, bagian-bagian yang mendukung uraian itu dikutip.  c. Mengulas berarti menyajikan uraian sebagai berikut: 
– isi pernyataan atau materi buku yang sudah dipadatkan dan dijabarkan kemudian diinterpretasikan; 
– organisasi atau kerangka buku; 
– bahasa; – kesalahan cetak;
– membandingkan (komparasi) dengan buku-buku sejenis, baik karya pengarang sendiri maupun karya pengarang lain; 
– menilai, mencakup kesan peresensi terhadap buku, terutama yang berkaitan dengan keunggulan dan kelemahan buku. Urutan pola meringkas, menjabarkan, dan mengulas itu dapat pula dipertukarkan. Kita bisa langsung mengulas, menjabarkan, dan meringkas. Misalnya, kita mulai dari kesan terhadap buku, membandingkan, lalu masuk ke bagian meringkas. 
Sesudah itu, kita memadatkan persoalan utama atau bagian terpenting dalam uraian yang singkat dan jelas. Kemudian, kita perlu menjabarkan bagian-bagian terpenting dari sinopsis.  Kita pun dapat mulai dari menjabarkan, meringkas, dan mengulas. Namun, satu hal terpenting, isi pernyataan dalam buku itu dipahami terlebih dahulu. Dari pemahaman itu, kita akan tahu pola mana yang tepat untuk menyajikannya. 
7. Langkah-Langkah Meresensi Buku 
Langkah-langkah meresensi buku sebagai berikut. a. Penjajakan atau pengenalan terhadap buku yang diresensi. 
– Mulai dari tema buku yang diresensi, disertai deskripsi isi buku. 
– Siapa yang menerbitkan buku itu, kapan dan di mana diterbitkan, tebal (jumlah bab dan halaman), format, hingga harga.
– Siapa pengarangnya: nama, latar belakang pendidikan, reputasi dan prestasi, buku atau karya apa saja yang ditulis, hingga mengapa ia menulis buku itu. 
– Buku itu termasuk golongan buku yang mana: ekonomi, teknik, politik, pendidikan, psikologi, sosiologi, filsafat, bahasa, atau sastra. 
b. Membaca buku yang akan diresensi secara komprehensif, cermat, dan teliti. Peta permasalahan dalam buku itu perlu dipahami secara tepat dan akurat. 
c. Menandai bagian-bagian buku yang diperhatikan secara khusus dan menentukan bagian-bagian yang dikutip untuk dijadikan data. 
d. Membuat sinopsis atau intisari dari buku yang akan diresensi.
e. Menentukan sikap dan menilai hal-hal berikut. 
– Organisasi atau kerangka penulisan; bagaimana hubungan antara bagian yang satu dan bagian yang lain, bagaimanasistematikanya, dan bagaimana dinamikanya. 
– Isi pernyataan; bagaimana bobot ide, analisis, penyajian data, dan kreativitas pemikirannya. 
– Bahasa; bagaimana ejaan yang disempurnakan diterapkan, kalimat dan penggunaan kata, terutama untuk buku ilmiah. 
– Aspek teknis; bagaimana tata letak, tata wajah, kerapian dan kebersihan, dan pencetakannya (banyak salah cetak atau tidak).  
Sebelum menilai, alangkah baiknya jika terlebih dahulu dibuat semacam garis besar (outline) resensi itu. Outline ini sangat membantu kita ketika menulis. Mengoreksi dan merevisi hasil resensi dengan menggunakan dasar dan kriteria yang kita tentukan sebelumnya.  
8. Unsur-Unsur Resensi 
Kita perlu mengetahui unsur-unsur yang membangun resensi buku. Apa saja unsur-unsur yang membangun resensi buku?
a. Membuat Judul Resensi Judul resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti tulisan, tidak harus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah resensi selesai. Hal yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan isi resensi.  
b. Menyusun Data Buku Data buku biasanya disusun sebagai berikut: 
– judul buku (Apakah buku itu termasuk buku hasil terjemahan. Kalau demikian, tuliskan juga judul aslinya.);
– pengarang (Kalau ada, tulislah juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang tertera pada buku.); 
– penerbit;
– tahun terbit beserta cetakannya (cetakan ke berapa);
– tebal buku;
– harga buku (jika diperlukan).  
c. Membuat Pembukaan (lead) Pembukaan dapat dimulai dengan hal-hal berikut: 
– memperkenalkan siapa pengarangnya, karyanya berbentuk apa saja, dan prestasi apa saja yang diperoleh; – membandingkan dengan buku sejenis yang sudah ditulis, baik oleh pengarang sendiri maupun oleh pengarang lain;
– memaparkan kekhasan atau sosok pengarang; 
– memaparkan keunikan buku;
– merumuskan tema buku; 
– mengungkapkan kritik terhadap kelemahan buku; 
– mengungkapkan kesan terhadap buku; 
– memperkenalkan penerbit;
– mengajukan pertanyaan;
– membuka dialog.  
d. Tubuh atau Isi Pernyataan Resensi Buku Tubuh atau isi pernyataan resensi biasanya memuat hal-hal berikut: 
a). sinopsis atau isi buku secara bernas dan kronologis;
b). ulasan singkat buku dengan kutipan secukupnya; 
c). keunggulan buku; d. kelemahan buku; 
e). rumusan kerangka buku;
f). tinjauan bahasa (mudah atau berbelit-belit); 
g). adanya kesalahan cetak.  
e. Penutup Resensi Buku Bagian penutup, biasanya berisi uraian tentang buku itu penting untuk siapa dan mengapa.

> Menganalisis Unsur Hikayat

Apa yang menarik dari sejarah karya sastra kita? Salah satunya adalah kehadiran hikayat. Mungkin Anda telah mengenal beragam hikayat. Namun, apakah sesungguhnya manfaat hikayat bagi manusia zaman dahulu?  Hikayat adalah karya sastra Melayu lama berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, silsilah raja-raja, agama, sejarah, biografi, atau gabungan dari semuanya. 
Pada zaman dahulu, hikayat dibaca untuk melipur lara, membangkitkan semangat juang, atau sekadar meramaikan pesta.  Sebagai prosa lama, hikayat memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan prosa baru atau prosa modern, di antaranya: 
1. isi ceritanya berkisar pada tokoh raja dan keluarganya (istana sentris); 
2. bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika tersendiri yang tidak sama dengan logika umum, ada juga yang menyebutnya fantastis; 
3. mempergunakan banyak kata arkais (klise). Misalnya, hatta, syahdan, sahibul hikayat, menurut empunya cerita, konon, dan tersebutlah perkataan; 4. nama pengarang biasanya tidak disebutkan (anonim).  Tema dominan dalam hikayat adalah petualangan. Biasanya, di akhir kisah, tokoh utamanya berhasil menjadi raja atau orang yang mulia. Oleh karena itu, alurnya pun cenderung monoton. 
Penokohan dalam hikayat bersifat hitam putih. Artinya, tokoh yang baik biasanya selalu baik dari awal hingga akhir kisah. Ia pun dilengkapi dengan wajah dan tubuh yang sempurna. Begitu pula sebaliknya, tokoh jahat selalu jahat walaupun tidak semuanya berwajah buruk.  
Contoh-contoh hikayat di antaranya “Hikayat Bayan Budiman”, “Hikayat Hang Tuah”. “Hikayat Raja-Raja Pasai”, “Hikayat Panji Semirang”, serta “Hikayat Kalila dan Dimna”.  
Hikayat Raja-Raja Pasai  
Pemberian Nama Samudera Maka tersebutlah perkataan Merah Silu (diam) di Rimba Jerau itu. Sekali peristiwa pada suatu hari Merah Silu pergi berburu. Ada seekor anjing dibawanya akan perburuan Merah Silu itu, bernama si Pasai. Dilepaskannya anjing itu. Lalu, ia menyalak di atas tanah tinggi itu. Dilihatnya ada seekor semut, besarnya seperti kucing. Ditangkapnya oleh Merah Silu semut itu, lalu dimakannya. Tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. 
Setelah itu, diperbuatnya akan istananya. Setelah itu, Merah Silu  pun duduklah ia di sana; dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana. Dinamai oleh Merah Silu negeri itu Samudera, artinya semut yang amat besar (= raja); di sanalah ia diam raja itu.  Kata sahib al-hikayat: Pada suatu hari, Sultan Malik as-Saleh pergi bermain-main berburu dengan segala laskarnya ke tepi laut. Dibawanya seekor anjing perburuan bernama si Pasai itu. Tatkala sampailah Baginda itu ke tepi laut, disuruhnya lepaskan anjing perburuan itu. 
Lalu, ia masuklah ke dalam hutan yang di tepi laut itu. Bertemu ia dengan seekor pelanduk duduk di atas pada suatu tanah yang tinggi. Disalaknya oleh anjing itu, hendak ditangkapnya. Tatkala dilihat oleh pelanduk anjing itu mendapatkan dia, disalaknya anjing itu oleh pelanduk.  Anjing itupun undurlah. Tatkala dilihat pelanduk, anjing itu undur, lalu pelanduk kembali pula pada tempatnya. Dilihat oleh anjing, pelanduk itu kembali pada tempatnya. 
Didapatkannya pelanduk itu oleh anjing, lalu ia berdakap-dakapan kira-kira tujuh kali. Heranlah Baginda melihat hal kelakuan anjing dengan pelanduk itu. Masuklah Baginda sendirinya hendak menangkap pelanduk itu ke atas tanah tinggi itu. Pelanduk pun lari; didakapnya juga oleh anjing itu. Sabda Baginda kepada segala orang yang ada bersama-sama dengan dia itu:  “Adakah pernahnya kamu melihat pelanduk yang gagah sebagai ini? Pada bicaraku sebab karena ia diam pada tempat ini, itulah rupanya, maka pelanduk itu menjadi gagah”.  
Sembah mereka itu sekalian: “Sebenarnyalah seperti sabda Yang Maha Mulia itu”. Pikirlah Baginda itu: “Baik tempat ini kuperbuat negeri anakku Sultan Malik at-Tahir kerajaan”. Sultan Malik as- Salehpun kembalilah ke istananya. Pada keesokan harinya Bagindapun memberi titah kepada segala menteri dan hulubalang rakyat tentera, sekalian menyuruh menebas tanah akan tempat negeri, masing-masing pada kuasanya dan disuruh Baginda perbuat istana pada tempat tanah tinggi itu.  
 Sultan Malik as-Salehpun pikir di dalam hatinya, hendak berbuat negeri tempat ananda Baginda. Titah Sultan Malik as-Saleh pada segala orang besar: “Esok hari kita hendak pergi berburu”. Telah pagi-pagi hari, Sultan Malik as-Salehpun berangkat naik gajah yang bernama Perma Dewana. Lalu berjalan ke seberang datang ke pantai. Anjing yang bernama si Pasai itupun menyalak. Sultan Malik as-Salehpun segera mendapatkan anjing itu. Dilihatnya, yang disalaknya itu tanah tinggi, sekira-kira seluas tempat istana dengan kelengkapan, terlalu amat baik, seperti tempat ditambak rupanya. 
Oleh Sultan Malik as-Saleh tanah tinggi itu disuruh oleh Baginda tebas. Diperbuatnya negeri kepada tempat itu dan diperbuatnya istana. Dinamainya Pasai menurut nama anjing itu. Ananda Baginda Sultan Malik at-Tahir dirayakan oleh Baginda di Pasai itu.   
Peminangan Seorang Sultan dan Perkawinannya Kemudian dari itu, Sultan Malik as-Saleh menyuruhkan Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din ke negeri Perlak meminang anak Raja Perlak. Adapun Raja Perlak itu beranak tiga orang perempuan, dan yang dua orang itu anak gehara, dan seorang anak gundik, Puteri Ganggang namanya. 
Telah Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din datang ke Perlak, ketiga ananda itu ditunjukkannya kepada Sidi ‘Ali Ghijas ad- Din. Adapun Puteri yang dua bersaudara itu duduk di bawah, anaknya Puteri Ganggang itu didudukkan di atas tempat yang tinggi, disuruhnya mengupas pinang.  Dan akan saudaranya kedua itu berkain warna bunga air mawar dan berbaju warna bunga jambu, bersubang lontar muda, terlalu baik parasnya. Sembah Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din kepada Raja Perlak: “Ananda yang duduk di atas, itulah pohonkan akan paduka ananda itu”.  
Tetapi Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din tiada tahu akan Puteri Ganggang itu anak gundik Raja Perlak. Maka Raja Perlakpun tertawa gelak-gelak, seraya katanya: “Baiklah, yang mana kehendak anakku”. Sumber: Bunga Rampai Melayu Kuno, 1952 (dengan penyesuaian ejaan)  
Dari isi hikayat tersebut, Anda dapat menganalisis unsur intrinsik hikayat. Tema dalam hikayat tersebut berhubungan dengan kisah sebuah kerajaan dari mulai pemberian nama, pembangunan negeri, sampai hal-hal yang terjadi di negeri tersebut. Selanjutnya, tokoh tokoh yang ada dalam cerita tersebut adalah Sultan Malik as- Saleh, Merah Silu, si Pasai (seekor anjing), Perma Dewana (seekor gajah), Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din, dan tokoh tambahan lainnya.  
Seperti halnya ciri hikayat, hikayat ini mengandung unsur perwatakan tokoh yang mempunyai kemampuan sempurna sebagai manusia. Ia adalah orang-orang istana yang berbeda dengan kehidupan orang banyak. Adapun latarnya adalah di Rimba Jerau dan Kerajaan Perlak. Alur cerita dalam hikayat tersebut merupakan alur standar hikayat, yaitu alur maju.  
Dalam hal ini, Anda dapat mengamati bahwa ada pembabakan cerita dari mulai penamaan kerajaan sampai peminangan seorang putri raja. Dalam hikayat ini seakan tidak ada konflik yang menonjol antara pertentangan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Sebagai karya tradisional, karya hikayat mempunyai sudut penceritaan orang ketiga (dia atau nama tokoh).

> Mendengarkan Isi Sambutan/ Khotbah

1. Mendengarkan Sambutan 
Dalam kegiatan keseharian, baik di lingkungan sekolah atau masyarakat, Anda tentunya pernah mengikuti kegiatan yang dilaksanakan dalam berbagai acara. Saat acara dilaksanakan, biasanya ada kata sambutan dari pihak panitia, pejabat pemerintah, ataupun orang yang dihormati. 
Misalnya, dalam acara kegiatan di sekolah, kepala sekolah atau ketua panitia berkenan untuk memberikan sambutan. Dalam acara resmi tingkat nasional atau internasional pun selalu ada sambutan dari orang/pejabat tertentu.  Kegiatan memberikan sambutan disesuaikan dengan situasi saat acara dilangsungkan. 
 
Dalam hal ini, seseorang yang memberikan sambutan harus memahami hal-hal apa saja yang dia kemukakan termasuk siapa saja orang yang hadir. Selain itu, perhatikan pula panjang-pendeknya sambutan yang akan kita sampaikan. Jangan sampai sambutan yang kita berikan mengganggu acara inti. Begitu pun bahasa dan gerak tubuh harus menunjang pembicaraan.  Berikut ini contoh sambutan ketua panitia dalam suatu acara. 
 Dengarkanlah dengan baik.  
 
Hadirin yang saya hormati, 
Pertama-tama, kita patut bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Dengan izin-Nya-lah kita bisa hadir dalam rangka pembukaan pelaksanaan “Program Forum Warga” di daerah kita tercinta ini. Saya pun mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada berbagai pihak yang telah hadir dalam kegiatan kita kali ini. 
 
Kami selaku panitia mengucapkan selamat datang kepada Ibu Bupati, para camat, serta para lurah yang telah menyempatkan hadir dalam kesempatan kita ini.  
Seperti Ibu dan Bapak ketahui, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat ke arah yang lebih baik menuntut dibukanya kebebasan warga. Biarkan mereka berpikir dan berpendapat bebas terhadap semua masalah yang terjadi di sekeliling mereka. Termasuk dalam menentukan cara menyelesaikan persoalan. 
 
Hadirin yang saya hormati.  Contoh yang lebih konkret misalnya di wilayah kelurahan atau desa kita. Di lingkup itu, semua warga masyarakat harus tahu apakah kelompok miskin, pengangguran, putus sekolah di sekitar mereka semakin bertambah setiap tahun, tetap, atau berkurang. 
Bukan itu saja, mereka juga berhak tahu tentang kebersihan, keamanan, dan kenyamanan hidup bertetangga. Pokoknya, semua hal yang terkait dengan hidup bermasyarakat harus diketahui, disadari dan ditangani secara bersamasama.  
 
Pilihan yang paling tepat untuk bisa “hidup bersama- sama seperti itu adalah” tentu saja bertemunya seluruh warga atau unsur-unsur warga di satu lingkungan untuk berdialog atau berbicara secara terbuka, transparan, dan demokratis. Dalam pertemuan ini warga akan tahu kenapa dan bagaimana rencana kerja pemerintah, berapa dana yang dimiliki, dari mana sumber dana tersebut guna meningkatkan kesejahteraan warganya.  
 
Pemerintah melalui kelurahan juga dapat memahami mengapa dana untuk masyarakat “macet”. Mengapa jumlah fakir miskin, pengangguran, dan/atau putus sekolah bertambah. Apakah para pengusaha, kelompok-kelompok warga seperti majelis taklim, dewan kesejahteraan masjid, gereja, dan organisasi keagamaan lain masih dapat berpartisipasi  mengatasi masalah sosial di masyarakat.
 
Dan, mengapa ada masyarakat yang masih enggan terlibat dalam mendukung program pemerintah. Pertemuan ini juga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman antarkelompok agama, antaretnis, juga antargenerasi. Bahkan diharapkan mampu menjalin kerja sama demi kesejahteraan bersama. 
Pertemuan antarwarga atau antarunsur-unsur kelompok warga yang berjalan secara rutin selama ini, tiada lain bertujuan membicarakan masalah dan penyebabnya, merencanakan kegiatan pemecahan, hingga mengevaluasi hasil kegiatan inilah yang sering dinamakan “Forum Warga”.  
 
Meskipun istilah “Forum Warga” terkesan baru, kegiatan seperti ini sebenarnya sudah menjadi tradisi masyarakat nusantara sejak dulu. Kegiatan tersebut di pedesaan hampir sama dengan apa yang disebut “Rembuk Desa”. Hadirin yang saya hormati.  
Forum Warga bukan suatu organisasi dengan struktur yang formal. Ia hanyalah istilah untuk menamakan suatu kegiatan pertemuan rutin warga guna mengatasi persoalan dan meningkatkan kerja sama antarwarga masyarakat termasuk peningkatan manfaat pembangunan yang ada. 
 
Fungsi lain yang juga penting, dalam pemerintahan desa dan kelurahan yang semakin demokratis, Forum Warga juga dapat menjadi tempat penyampaian tanggung jawab pembangunan pemerintah melalui kelurahan atau desa kepada warga masyarakatnya.  Demikianlah sambutan yang dapat saya sampaikan. Kami mohon maaf jika ada kekurangan selama acara kegiatan pembukaan ini. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa memberkahi niat baik kita. Selain itu, semoga kegiatan “Program Forum Warga” ini ke depannya dapat terlaksana dengan baik. Amin. Terima kasih atas perhatian hadirin.  
 
2. Mendengarkan Khotbah 
Khotbah atau biasa kita sebut ceramah keagamaan termasuk kegiatan berpidato di muka umum. Khotbah biasa dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang agama, seperti ustadz, pendeta, biksu, dan sebagainya.  
Sama halnya dengan sambutan, khotbah yang disampaikan terdiri atas pikiran-pikiran pokok. Tujuan khotbah bisa berisi ajakan melakukan kebaikan, motivasi hidup ataupun beribadah, bahkan larangan-larangan bagi manusia. Bacakanlah khotbah berikut oleh salah seorang di antara Anda.