> Memerankan Drama

Apakah Anda mengenal W.S. Rendra? N. Riantiarno? Jajang C. Noer? Mereka adalah aktor drama yang dikenal dalam khazanah drama Indonesia. Kemampuan akting mereka tercipta dengan latihan keras dan tekun. Anda pun mungkin suatu waktu dapat terjun ke dunia akting seperti mereka. Mulai sekarang, Anda dapat melatih diri dengan disiplin untuk menghayati menjadi aktor yang sebenarnya.
Sebagai peraga cerita, aktor termasuk seniman unik. Kegiatan yang dapat dilakukan hanya melihat permainan teman atau lawan perannya. Itu pun tidak dapat dilakukan dengan bebas karena dia sendiri terlibat dalam permainan itu. Jadi, hasil karya seorang aktor adalah peragaan cerita. Dalam memperagakan cerita itu, pemain
melakukan perbuatan aktif yang disebut akting. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hasil karya aktor adalah akting.

1. Latihan Dasar
Karya seni sang aktor diciptakan melalui tubuh, suara, dan jiwanya
sendiri. Hasilnya berupa peragaan cerita yang ditampilkan di depan
penonton. Oleh karena itu, seorang aktor yang baik adalah seorang
seniman yang mampu memanfaatkan potensi dirinya.
Potensi diri itu dapat diperinci menjadi: potensi tubuh, potensi
dria, potensi akal, potensi hati, potensi imajinasi, potensi vokal, dan
potensi jiwa. Kemampuan memanfaatkan potensi diri itu tentu tidak
datang dengan sendirinya, tetapi harus dengan giat berlatih.
Pelatihan dasar berikut ini dapat dilakukan oleh calon aktor.
a. Potensi Tubuh
Tubuh harus bagus dan menarik. Arti bagus dan menarik di sini
bukan wajah harus tampan atau cantik. Hal yang dimaksud adalah
tubuh harus lentur, sanggup memainkan semua peran, dan mudah
diarahkan. Latihan dasar untuk melenturkan tubuh, antara lain
sebagai berikut.
(1) Latihan tari supaya aktor mengenal gerak berirama dan dapat mengatur waktu.
(2) Latihan samadi supaya aktor mengenal lebih dalam artinya diam; merenung secara insani.
(3) Latihan silat supaya aktor mengenal diri dan percaya diri.
(4) Latihan anggar untuk mengenal arti semangat.
(5) Latihan renang agar aktor mengenal pengaturan napas.
b. Potensi Dria
Dria adalah semua pancaindra: penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan pengecap. Semua perlu dilatih satu per satu supaya peka. Cara melatihnya, melalui dria ganda. Artinya, suatu pengindraan disertai pengindraan yang lain. Misalnya, melihat sambil mendengarkan.
c. Potensi Akal
Seorang aktor harus cerdik dan tangkas. Kecerdikan dan ketangkasan
itu dapat dipunyai kalau ia terbiasa menggunakan akal, antara
lain dengan kegiatan membaca dan berolahraga. Tentu saja olahraga
yang dimaksud adalah olahraga yang berhubungan dengan pikiran
seperti catur, halma, bridge, atau teka-teki silang.
d. Potensi Hati
Hati merupakan landasan perasaan. Perasaan manusia amat beragam dan silih berganti. Kadang-kadang senang dan tertawa, kadangkadang sedih dan meratap. Semua berurusan dengan hati. Oleh karena itu, melatih hati sebenarnya melatih kepekaan perasaan. Jika perasaan seseorang peka, ia dapat merasakan apa yang datang dalam suasana batinnya dengan cepat dan dengan cepat pula ia dapat memberikan reaksi.
e. Potensi Imajinasi
Akting baru mungkin terjadi apabila dalam hati ada kehendak.
Kehendak (niat) itu harus dilengkapi imajinasi (membayangkan
sesuatu). Menyuburkan imajinasi dalam diri dapat dilakukan dengan
sering mengapresiasi puisi dan mengapresiasi lukisan.
f. Potensi Vokal
Aktor mengucapkan kata-kata yang dirakit menjadi kalimatkalimat
untuk mengutarakan perasaan dan pikirannya. Kata-kata
diucapkan dengan mulut. Jadi, mulut menghasilkan suara. Suara
dari mulut yang membunyikan kata-kata itu disebut vokal. Aktor
harus mempunyai vokal kuat agar kata-kata yang diucapkan jelas.
Latihan dasar untuk menguatkan vokal antara lain dengan deklamasi dan menyanyi.
g. Potensi Jiwa
Seorang aktor harus mampu memerankan tokoh dengan penjiwaan.
Artinya, ia harus berusaha agar jiwanya melebur dalam tokoh yang
diperankan. Penjiwaan ini dapat dibangkitkan lewat pengalaman dan pengamatan. 
Misalnya, seorang tokoh dapat memerankan tokoh sedih atau menangis tersedu-sedu dengan penuh penghayatan karena dia berpengalaman merasakan sedih atau pernah mengamati orang bersedih.
Oleh karena itu, sebaiknya aktor banyak melakukan pengamatan masalah kehidupan untuk menambah pengalaman.

> Menulis Daftar Pustaka dan Catatan Kaki

Apa jadinya dunia jika karya ilmiah tidak ada? Dengan karya ilmiah, kita dapat mengetahui karya tulis orang lain sekaligus menghargai karya tulis orang lain. Ada beragam sumber rujukan yang dapat diambil dari pengetahuannya.
Selain itu, memahami dan mengenal sumber rujukan akan membawa Anda dalam keyakinan bahwa ilmu terus
berkembang. Oleh sebab itu, kita menjaga dan mengembangkannya dengan menulis.
1. Daftar Pustaka
Daftar pustaka dikenal juga sebagai referensi, bibliografi,
sumber acuan, atau sumber rujukan. Daftar pustaka adalah susunan
sumber informasi yang umumnya berasal dari sumber tertulis
berupa buku-buku, makalah, karangan di surat kabar, majalah, dan
sejenisnya. Semua sumber bacaan itu berhubungan erat dengan karangan yang ditulis.
Daftar pustaka ditempatkan pada bagian akhir karangan dan
ditulis pada halaman tersendiri. Daftar pustaka disusun berdasarkan
urutan abjad nama penulis (alfabetis) dan tidak menggunakan nomor urut.

Ketentuan penulisannya sebagai berikut.

a. Buku
1) Jika penulisnya satu orang, penulisan nama belakang
penulisnya (jika terdiri atas dua kata atau lebih) dipindahkan
ke depan. Misalnya, Yogi Yogaswara menjadi Yogaswara, Yogi.
Contoh: Yogaswara, Yogi. 2000. Teknik Menulis Cerita Anak. Bandung. CV Aneka.
2) Jika penulisnya dua atau tiga orang, nama penulis pertama
ditulis terbalik, sedangkan yang lainnya tetap. Contoh:
Warsidi, Edi dan Eriyandi Budiman. 1999. Teknik Menulis Naskah Film untuk Anak-Anak. Bandung: Katarsis.
3) Jika penulisnya lebih dari tiga orang, hanya satu orang yang dituliskan, kemudian ditambah keterangan dkk. (dan kawan-kawan). Contoh:
Sugono, Dendy dkk. 2003. Kamus Bahasa Indonesia Sekolah Dasar. Jakarta: Gramedia.
4) Jika beberapa buku dari penulis yang sama kita rujuk, urutan daftar pustaka tidak mengulang nama penulisnya.
Pada urutan kedua dan selanjutnya, nama penulis diganti dengan garis delapan ketukan.
Contoh: Ismail, Taufiq (ed.) dkk, 2002. Horison Sastra Indonesia 1, Kitab Puisi. Jakarta: Horison & The Ford Foundation.
5) Jika tahun terbit tidak dicantumkan, tahun terbitnya diganti dengan tulisan tanpa tahun (tt). Contoh:
Maulana, Dodi. tanpa tahun. Beternak Unggas. Bandung: CV Permata.
b. Surat Kabar
1) Jika berupa berita, urutannya yaitu nama koran (dicetak
miring) dan penanggalan. Contoh: Kompas (harian). Jakarta, 20 Februari 2005.
Kedaulatan Rakyat (harian). Yogyakarta, 15 Maret 2005.
2) Jika berupa artikel urutannya yaitu nama penulis (seperti
pada buku), tahun terbit, judul artikel (diapit tanda petik
dua), nama koran, tanggal terbit. Contoh:
Saptaatmaja, Tom S. 2005. “Imlek, Momentum Untuk
Rekonsiliasi.” Koran Tempo, 11 Maret 2005.
c. Majalah
Sama dengan surat kabar, tetapi di belakang nama majalah
ditambahkan nomor edisi. Contoh:
Kleiden, Ignas. 2005. “Politik Perubahan Tanpa Perubahan
Politik.” Tempo No. 50 tahun XXXIII.
d. Lembaran Kerja dari Lembaga Tertentu
Contoh:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Pedoman
Surat Dinas. Jakarta: P3B.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004:
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta.
e. Makalah yang Tidak Diterbitkan
Setelah kota tempat penulisan, tidak terdapat nama penerbit.
Contoh:
M.I. Sulaeman. (1985). Suatu Upaya Pendekatan Fenomenologis
Situasi Kehidupan dan Pendidikan dalam Keluarga dan
Sekolah. Disertasi Doktor FPS, IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
Berikut ini contoh daftar pustaka yang ada dalam sebuah buku.
Ali, Lukman. 1989. Berbahasa Baik dan Berbahasa dengan Baik. Bandung: Angkasa.
Arifin, E. Zaenal. 1985. “Perihal Surat-menyurat Resmi
Indonesia Baru”. Bahan Ceramah Penataran Tenaga
Administrasi Universitas Indonesia. Jakarta: tidak diterbitkan.
________. 1986. “Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”.
Bahan Ceramah Pusdiklat RRI,
Departemen Penerangan. Jakarta: tidak diterbitkan.
________. 1987. “Struktur Bahasa Indonesia: Kata
dan Kalimat”. Bahan Ceramah Penataran Bahasa
Indonesia, Badan Tenaga Atom Nasional. Jakarta:
tidak diterbitkan.
Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 1990. Cermat
Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Cetakan
IV. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.
B. Catatan Kaki
Karya tulis ilmiah membutuhkan dokumentasi untuk memudahkan
penulis menyatakan serta mengakui jasa para penulis lainnya.
Selain itu, dokumentasi ini bertujuan agar para pembaca menguji
atau memeriksa sumber informasi. Dokumentasi ini biasanya berbentuk catatan kaki.
Walaupun suatu catatan kaki dapat saja menambahi komentar dan
penjelasan, haruslah kita ingat benar-benar bahwa fungsi utamanya
adalah memberikan informasi mengenai suatu sumber.
Berikut ini contoh catatan kaki. Lihatlah penempatannya dalam halaman.
a. Goal-seaking (tingkah laku individu terarah kepada suatu tujuan tertentu).
b. Mind (substansi kualitatif yang berbeda dengan jasmaniah).
c. Drive (tenaga pendorong dari dalam diri individu atau dalam pengertian yang lebih luas sering disebut motive).54
Aspek-aspek tersebut memungkinkan adanya dinamisasi
proses belajar dalam diri individu. Menurut Cronbach 53, proses
belajar itu akan terjadi pada diri individu apabila ada langkahlangkah atau aspek-aspek sebagai berikut.
1. Tujuan (Goal)
Perbuatan belajar akan terjadi apabila ada tujuan yang akan dicapai.
2. Kesiapan (Readiness)
Kesiapan dalam proses belajar merupakan suatu hal yang esensien. 53Skinner, Charles E., Essential Of Education Psychology, American Company
Ltd., Tokyo, Japan, 1958, p.,7. 54Cronbach, L.E., op.cit., p.p., 48–52
Jika bahan tulisan diambil dari sebuah buku, ikutilah bentuk berikut.
a. Buku
(1) Data pengarang
Nama pertama, nama tengah, nama akhir, koma.
(2) Data buku
Judul buku digarisbawahi (dicetak miring), tanda kurung buka,
tempat penerbitan, titik dua, penerbit, koma, tahun penerbitan, tanda kurung tutup, koma.
(3) Data halaman
Ringkasan p. atau pp., angka, titik.
Contoh:
1 Erich Fromm, The Art of Loving (New York: Harper & Row, 1956), p. 23.
Haruslah diperhatikan benar-benar bahwa tidak ada tanda baca
mendahului tanda kurung buka, tetapi terdapat koma setelah tanda
kurung tutup. Seperti juga halnya dengan kalimat, catatan kaki mulai
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik.
Bagi artikel, bentuk sama saja, tetapi terdapat perbedaan penting.
b. Artikel
(1) Data pengarang
Nama pertama, nama tengah, nama akhir, koma.
(2) Data artikel/publikasi
Tanda kutip buka, judul artikel, koma, tanda kutip tutup,
judul penerbitan digarisbawahi, koma, hari, bulan (disingkat kalau lebih dari lima huruf), koma, tahun, koma.
(3) Data halaman
Singkatan p. atau pp., angka, titik.
Contoh:
2 Stuart Baur, “First Message from the Planet of the Apes”,
New Yorker, 24 Feb. 1975, pp. 30—37.
Perlu dicatat bahwa dalam catatan kaki tersebut dipakai bentuk
penanggalan militer; urutannya adalah hari—bulan—tahun, bukan
urutan bulan—hari—tahun seperti yang biasa dipergunakan masyarakat
umum. Juga, pada data tersebut tidak dicantumkan nomor jilid karena
majalah-majalah populer diterbitkan berdasarkan tahun kalender
dan dijilid di perpustakaan berdasarkan hal itu.
Berikut ini beberapa contoh bagi sumber-sumber lainnya yang
mungkin kita temui.
a. Artikel dalam Koran
3 “College Hunt”, New York Times, 11 May 1975, p.29, col. 1.
(Catatan: tidak ada pengarang; col = kolom).
4Mitchell C. Lynch, “Shaking up the G-Men”, Wall Street Journal, 15 May 1975, p.14, cols. 4-6.
b. Artikel dalam Jurnal
sCarl F. Strauch, “Kings in the Black Row: Meaning Through
Structure — A Reading of Salinger’s The Catcher in the Rye,
“Wisconsin Studies in Cuntemporary Literature, 2 (Winter 1961), 5- 30.
(Catatan: Judul buku dalam judul artikel ini digarisbawahi; nomor
jilid jurnal ditempatkan sebelum tanggal; kalau nomor jilid disertakan,
tidak digunakan singkatan; tanggal ditempatkan dalam tanda kurung).
c. Artikel dalam Koleksi
6Zellig S. Harris, “Discourse Analysis”, in The Structure of
Language, eds Jerry A. Fodor and Jerrold J. Katz (Englewood
Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 1964), pp. 355–83.
(Catatan: eds = editors; karena Englewood Cliffs tidak begitu
terkenal, diikuti oleh singkatan negara bagian).
d. Artikel dalam Majalah Mingguan
7 Roger Angell “The Sporting Scence (Baseball)”, New Yorker,14 April 1975, pp. 90–95).
8 “Year of the Ear”, Newsweek, 19 May 1975, p.93.
(Catatan: Pengarang tidak disebut).
e. Artikel dalam Majalah Bulanan
9 Betsy Langman and Alexander Cockburn, “Sirhan’s Gun”. Harper’s, Jan. 1975, pp. 16–27
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan mengenai bentuk catatan
kaki ini adalah sebagai berikut.
a. Nomor
Nomor mengikuti bahan yang dikutip, yang diacu atau yang
dikomentari. Nomor itu ditempatkan agak ke atas baris, di belakang
semua tanda baca, kecuali garis pisah. Catatan kaki haruslah diberi
nomor secara berurutan dalam seluruh karya tersebut.
b. Penempatan
Catatan kaki ditulis di bawah garis pada bagian bawah halaman.
Setiap catatan kaki diperlakukan sebagai suatu paragraf terpisah,
dimasukkan 5 spasi diawali dengan nomor yang bersangkutan (sedikit
berada di atas garis), diikuti oleh catatan yang berspasi tunggal, dan
diakhiri dengan titik. Jika catatan kaki ditempatkan pada akhir karya
tulis, haruslah ditempatkan pada halaman khusus (halaman terpisah).
Jarak antara catatan kaki dan catatan kaki lainnya biasanya dua spasi (atau spasi ganda).
c. Kapitalisasi dalam Judul
Seperti yang telah kita ketahui, huruf pertama pada kata-kata
judul hendaklah ditulis dengan huruf kapital, kecuali kata-kata tugas
(kata depan dan kata sambung).
d. Judul, Tanda Kutip, dan Huruf Miring
Semua judul mengikuti peraturan yang sama seperti pada
bibliografi: judul buku, judul majalah, harian, atau ensiklopedi
digarisbawahi atau dicetak dengan huruf miring; judul artikel
ditempatkan dalam tanda kutip.
e. Referensi Kedua atau Belakangan
Kalau kita telah menyajikan semua informasi yang dibutuhkan
dalam catatan kaki yang pertama bagi suatu sumber, demi kepraktisan
tidak perlu lagi kita ulangi seperti catatan kaki yang pertama itu. 
Cukup kalau kita menulis nama akhir pengarang dan nomor halaman saja, contoh: (Tarigan, p. 17). Kalau kebetulan ada dua pengarang yang mempunyai nama akhir yang sama, kita harus menulis nama mereka secara utuh (Henry Guntur Tarigan, p. 17); dan kalau ternyata pengarang tersebut telah menulis dua atau lebih karya, maka sebaiknya kita mencantumkan nama akhir dan singkatan judul karyanya, contoh: (Tarigan, Membaca, p. 27).
Sebagai bentuk pilihan, pada penyebutan kedua dan seterusnya atas sumber yang sama, judul buku dan sebagainya tidak perlu disebut lagi, dan digantikan dengan singkatan: ibid, op.cit, loc.cit.

> Menulis Karangan Berdasarkan Pengalaman Sendiri

Cerpen merupakan genre sastra yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan puisi dan novel. Tonggak penting sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai Muhamad Kasim dan Suman Hasibuan pada awal 1910-an.
Cerpen merupakan cerita yang pendek, hanya mengisahkan satu peristiwa (konflik tunggal), tetapi menyelesaikan semua tema dan persoalan secara tuntas dan utuh. Awal cerita (opening) ditulis secara menarik dan mudah diingat oleh pembacanya. Kemudian, pada bagian akhir cerita (ending) ditutup dengan suatu kejutan (surprise).
Menurut Phyllis Duganne, seorang wanita penulis dari Amerika, cerpen ialah susunan kalimat yang merupakan cerita yang mempunyai awal, bagian tengah, dan akhir. Setiap cerpen mempunyai tema, yakni inti cerita atau gagasan yang ingin diucapkan cerita itu. Seperti halnya penamaannya, cerita pendek, cerpen ialah bentuk cerita yang dapat dibaca tuntas dalam sekali duduk. 

Daerah lingkupnya kecil dan karena itu biasanya ceritanya berpusat pada satu tokoh atau satu  masalah. Ceritanya sangat kompak, tidak ada bagiannya yang hanya  berfungsi sebagai embel-embel. Tiap bagian, kalimat, kata, dan tanda  baca semuanya tidak ada yang sia-sia. Semuanya memberi saham  yang penting untuk menggerakkan jalan cerita, atau mengungkapkan  watak tokoh, atau melukiskan suasana (Diponegoro, 1985: 6).   
Menurut Edgar Alan Poe (yang dianggap sebagai tokoh cerpen  modern), ada lima aturan penulisan cerpen, yakni sebagai berikut. 
1. Cerpen harus pendek. Artinya, cukup pendek untuk dibaca  dalam sekali duduk. Cerpen memberi kesan kepada pembacanya  secara terus-menerus, tanpa terputus-putus, sampai kalimat yang  terakhir. 
2. Cerpen seharusnya mengarah untuk membuat efek yang  tunggal dan unik. Sebuah cerpen yang baik mempunyai ketunggalan  pikiran dan action yang bisa dikembangkan lewat sebuah garis yang  langsung dari awal hingga akhir.  
3. Cerpen harus ketat dan padat. Cerpen harus berusaha memadatkan  setiap gambaran pada ruangan sekecil mungkin. Maksudnya agar  pembaca mendapatkan kesan tunggal dari keseluruhan cerita.  
4. Cerpen harus tampak sungguhan. Seperti sungguhan adalah  dasar dari semua seni mengisahkan cerita. Semua tokoh ceritanya  dibuat sungguhan, berbicara dan berlaku seperti manusia yang  betul-betul hidup.  
5. Cerpen harus memberi kesan yang tuntas. Selesai membaca  cerpen, pembaca harus merasa bahwa cerita itu betul-betul selesai.  Jika ujung cerita masih terkatung-katung, pembaca akan merasa kecewa.  
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Cerpen  Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya  sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya  sastra hadir sebagai karya sastra, unsure-unsur yang secara faktual  dapat dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik  dalam karya sastra, khususnya cerpen, meliputi tokoh/ penokohan,  alur (plot), gaya bahasa, sudut pandang, latar (setting), tema, dan amanat.

Berikut penjelasan mengenai unsur intrinsik.
1. Tokoh dan Karakter Tokoh
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan
watak, perwatakan, atau karakter menunjuk pada sifat dan sikap
para tokoh yang menggambarkan kualitas pribadi seorang tokoh.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa
dan penyampai pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin
disampaikan kepada pembaca. Secara umum kita mengenal tokoh
protagonis dan antagonis.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal
bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai
dengan pandangan dan harapan pembaca. Adapun tokoh antagonis
adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik. Tokoh antagonis
merupakan penentang tokoh protagonis.
Ada beberapa cara penggambaran karakter tokoh dalam cerpen,
di antaranya sebagai berikut.
Melalui apa yang diperbuat tokoh. Hal ini berkaitan dengan
bagaimana sang tokoh bersikap dalam situasi ketika tokoh harus
mengambil keputusan.
Contoh:
Dengan terburu-buru Wei meninggalkan kota, dan peristiwa
itu tak lama kemudian sudah terlupakan.
Ia lantas pergi ke barat, ke ibu kota, dan karena dikecewakan oleh pinangan terakhir yang gagal itu, ia mengesampingkan pikirannya dari hal perkawinan. Tiga tahun kemudian, ia berhasil
meminang seorang gadis dari keluarga Tan yang terkenal kebaikannya di dalam masyarakat.
Sumber: Cerpen “Sekar dan Gadisnya”, Ryke L.
Melalui ucapan-ucapan tokoh. Dari apa yang diucapkan tokoh kita dapat mengetahui karakternya.
Contoh:
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Buku kumpulan cerpen Malaikat
Tak Datang Malam Hari karya Joni
Ariadinata.
“Apa yang tidak Ibu berikan padamu? Ibu bekerja keras supaya bisa menyekolahkanmu. Kau tak punya kewajiban apa-apa selain sekolah dan belajar. Ibu juga tak pernah melarangmu melakukan apa saja yang kau sukai. Tapi, mestinya kamu ingat bahwa kewajiban utamamu adalah belajar. Hargai sedikit jerih payah Ibu!”

Di luar dugaannya anak itu menatapnya dengan berani. “Ibu tak
perlu susah payah menghidupi aku kalau Ibu keberatan. Aku bisa saja
berhenti sekolah dan tidak usah menjadi tanggungan Ibu lagi.”
Darah Sekar –ibu anak itu–serasa naik ke ubun-ubun.
Sumber: Cerpen “Sekar dan Gadisnya”, Ryke L.
Melalui penjelasan langsung. Dalam hal ini penulis menggambarkan
secara langsung karakter tokoh.
Contoh:
Memang, sebenarnya, semenjak dia datang, kami sudah
membenci dia. Kami membenci bukan karena kami adalah
orang-orang yang tidak baik, tapi karena dia selalu menciptakan
suasana tidak enak. Perilaku dia sangat kejam. Dalam berburu
dia tidak sekadar berusaha untuk membunuh, namun menyiksa
sebelum akhirnya membunuh. 
Maka, telah begitu banyak binatang
menderita berkepanjangan, sebelum akhirnya dia habiskan
dengan kejam. Cara dia makan juga benar-benar rakus.
Bukan hanya itu. Dia juga suka mabuk-mabukan. Apabila dia
sudah mabuk, maka dia menciptakan suasana yang benar-benar
meresahkan dan memalukan. Dia sering meneriakkan kata-kata
kotor, cabul, dan menjijikkan.

2. Latar (Setting)

Latar dalam sebuah cerita menunjuk pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa
yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara
konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis
kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sunguh-sungguh ada dan terjadi.
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu
sebagai berikut.
a. Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa. Unsur
tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa
yang diceritakan.
c. Latar Sosial
Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan dosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan
hidup, istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir
dan bersikap, serta hal-hal lainnya.
3. Alur (Plot)
Alur adalah urutan peristiwa yang berdasarkan hukum sebab
akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, akan tetapi
menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Kehadiran alur dapat membuat
cerita berkesinambungan. Oleh karena itu, alur biasa disebut juga
susunan cerita atau jalan cerita.
Ada dua cara yang dapat digunakan dalam menyusun bagianbagian
cerita, yakni sebagai berikut.
Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa secara berurutan
mulai dari perkenalan sampai penyelesaian. Susunan yang demikian
disebut alur maju. Urutan peristiwa tersebut meliputi:
– mulai melukiskan keadaan (situation);
– peristiwa-peristiwa mulai bergerak (generating circumtanses);
– keadaan mulai memuncak (rising action);
– mencapai titik puncak (klimaks)
– pemecahan masalah/ penyelesaian (denouement)
Pengarang menyusun peristiwa secara tidak berurutan. Pengarang
dapat memulainya dari peristiwa terakhir atau peristiwa
yang ada di tengah, kemudian menengok kembali pada peristiwaperistiwa
yang mendahuluinya. Susunan yang demikian disebut alur sorot balik (flashback).
Selain itu, ada juga istilah alur erat dan alur longgar. Alur erat
adalah jalinan peristiwa yang sangat padu sehingga apabila salah
satu peristiwa ditiadakan maka dapat mengganggu keutuhan cerita.
Adapun alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak begitu
padu sehingga apabila salah satu peristiwa ditiadakan tidak akan
mengganggu jalan cerita.
4. Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang adalah visi pengarang dalam memandang suatu
peristiwa dalam cerita. Untuk mengetahui sudut pandang, kita dapat
mengajukan pertanyaan siapakah yang menceritakan kisah tersebut?
Ada beberapa macam sudut pandang, di antaranya sudut pandang
orang pertama (gaya bercerita dengan sudut pandang “aku”), sudut
pandang peninjau (orang ketiga), dan sudut pandang campuran.
5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas penyusunan dan penyampaian
dalam bentuk tulisan dan lisan. Ruang lingkup dalam tulisan
meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi, penggunaan majas,
dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni pengungkapan
seorang pengarang terhadap karyanya.
6. Tema
Tema adalah persoalan pokok sebuah cerita. Tema disebut juga ide
cerita. Tema dapat berwujud pengamatan pengarang terhadap berbagai
peristiwa dalam kehidupan ini. Kita dapat memahami tema sebuah
cerita jika sudah membaca cerita tersebut secara keseluruhan.
7. Amanat
Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik
hal yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, amanat
adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan
atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita.
Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun
cerita sebuah karya. Yang termasuk unsur ekstrinsik karya sastra
antara lain sebagai berikut.
1. Keadaan subjektivitas pengarang yang memiliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup.
2. Psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya),
psikologi pembaca, dan penerapan prinsip-prinsip psikologi dalam sastra.
3. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial.
4. Pandangan hidup suatu bangsa dan berbagai karya seni yang lainnya.

> Menulis Paragraf Persuasif

Dalam pelajaran 10 C, Anda telah belajar menulis gagasan dalam bentuk paragraf argumentatif. Sekarang, Anda pun harus mampu memanfaatkan kemampuan Anda dalam memperoleh informasi dengan mengungkapkan gagasan dalam bentuk paragraf persuasif.
Persuasi adalah bentuk karangan yang bertujuan untuk meyakinkan seseorang baik pembaca atau juga pendengar agar melakukan sesuatu yang dikehendaki penulis. 
Berdasarkan pengertian tersebut, dapatlah diketahui ciri paragraf atau karangan persuasif, yakni sebagai berikut.
1. Paragraf persuasif berusaha meyakinkan seseorang atau pembaca.
2. Paragraf persuasif berusaha membuat pembaca tergerak untuk melakukan hal yang dihendaki penulis.

Bentuk persuasif yang dikenal umum adalah propaganda yang  dilakukan berbagai badan, lembaga, atau perorangan; iklan dalam  surat kabar untuk mempromosikan barang dagangan, kampanye  untuk menarik pemilih sebanyak-banyaknya, dan selebaranselebaran  atau pamflet.  
Bentuk-bentuk persuasif ini biasanya menggunakan pedekatan emotif, yaitu pendekatan yang berusaha  membangkitkan dan merangsang emosi pembaca. 
Di samping itu,  karangan persuasif pun biasanya menggunakan pendekatan rasional,  yakni dengan menyampaikan fakta-fakta untuk meyakinkan pembaca  atau pendengar.
Beberapa teknik penulisan paragraf atau karangan persuasi, di antaranya:
Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah proses penggunaan akal untuk memberikan
dasar pembenaran terhadap suatu persoalan. Pembenaran ini
berfungsi untuk memudahkan jalan agar keinginan, sikap, keputusan,
atau tindakan yang telah ditentukan dapat dibenarkan.
Sugesti
Sugesti adalah suatu usaha membujuk atau mempengaruhi
orang lain untuk menerima pendirian tertentu. Dalam kehidupan
sehari-hari, sugesti itu biasanya dilakukan dengan rangkaian katakata
yang menarik dan meyakinkan.
Agar lebih mudah membuat paragraf persuasif, Anda dapat
memanfaatkan kalimat-kalimat yang menggunakan kata penghubung
antarklausa, yaitu karena, jika, kalau, seperti, dan lain-lain.

> Membahas Isi Puisi

Karya puisi mengalami perkembangan sesuai dengan pengaruh yang datang dari Barat. Karya puisi yang saat ini berkembang tidak terikat lagi oleh aturan-aturan penulisan seperti halnya pada penulisan puisi lama. 
Puncak perubahan secara mendasar dalam puisi terjadi pada Angkatan ’45, terutama dipelopori oleh Chairil Anwar. Ikatan puisi lama sudah ditinggalkan. Kalau puisi lama masih mementingkan bentuk fisik puisi, puisi modern lebih mementingkan makna atau bentuk batin puisi.
Berikut contoh puisi karya Chairil Anwar.
Derai-Derai Cemara
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1. Struktur Puisi
Puisi terdiri atas dua macam struktur, yaitu:
a. Struktur fisik, meliputi: diksi (diction), pencitraan, kata konkret
(the concentrate word), majas (figurative language), dan bunyi
yang menghasilkan rima dan ritma.
b. Struktur batin, meliputi: perasaan (feeling), tema (sense), nada
(tone), dan amanat (atention).
Pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut bukan saja akan bermanfaat untuk mengapresiasi sebuah puisi, melainkan juga ketika kamu akan menulis puisi. Kesatuan dan kepaduan struktur tersebut dapat melahirkan karya puisi yang memiliki nilai seni dan
nilai makna yang tinggi.
2. Citraan dalam Puisi
Citraan atau pengimajian adalah gambar-gambar dalam pikiran
dan bahasa yang menggambarkannya. Setiap gambar pikiran disebut
citra atau imaji (image). Adapun gambaran pikiran adalah sebuah
efek dalam pikiran yang sangat menyerupai, yang dihasilkan oleh
penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh
mata (indra penglihatan). Jika dilihat dari fungsinya, citraan atau
pengimajian lebih cenderung berfungsi untuk mengingatkan kembali
apa yang telah dirasakan.
Dengan demikian, citraan tidak membuat kesan baru dalam
pikiran. Kita akan kesulitan menggambarkan objek atau sesuatu
yang disampaikan dalam puisi jika kita belum pernah sama sekali
mengalami atau mengetahuinya. Oleh karena itu, kita akan mudah
memahami puisi jika memiliki simpanan imaji-imaji yang diperoleh dari pengalamannya.
Ada beberapa jenis citraan yang dapat ditimbulkan puisi, yakni sebagai berikut.
a. Citraan Penglihatan
Citraan penglihatan ditimbulkan oleh indra penglihatan (mata).
Citraan ini merupakan jenis yang paling sering digunakan penyair.
Citraan penglihatan mampu memberi rangsangan kepada indra
penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat menjadi seolah-olah terlihat.
Contoh citraan penglihatan dapat dilihat dari kutipan puisi berikut.
Perahu Kertas
Waktu masih kanak-kanak Kau membuat perahu kertas
dan kau
layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu
bergoyang menuju lautan.
Karya Sapardi Djoko Damono
Sumber: Perahu Kertas, 1991
b. Citraan Pendengaran
Citraan pendengaran berhubungan dengan kesan dan gambaran
yang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga). Citraan ini
dapat dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi
suara, misalnya dengan munculnya diksi sunyi, tembang, dendang,
suara mengiang, berdentum-dentum, dan sayup-sayup.
Contoh citraan pendengaran dapat dilihat dari kutipan puisi berikut.
Penerbangan Terakhir
Maka menangislah ruh bayi itu keras-keras
Kedua tangan yang alit itu seperti kejang-kejang
Kakinya pun menerjang-nerjang
Suaranya melengking lalu menghiba-hiba

Karya Taufiq Ismail
Sumber: Horison Sastra Indonesia 1 :Kitab Puisi 2002
c. Citraan Perabaan
Citraan perabaan atau citraan tactual adalah citraan
yang dapat dirasakan oleh indra peraba (kulit). Pada saat
membacakan atau mendengarkan larik-larik puisi, kita dapat
menemukan diksi yang menyebabkan kita merasakan rasa
nyeri, dingin, atau panas karena perubahan suhu udara.
Berikut contoh citraan perabaan dalam puisi.
Blues untuk Bonie

sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya
Karya W.S. Rendra
Sumber: Horison Sastra Indonesia 1 :
Kitab Puisi 2002
d. Citraan Penciuman
Citraan penciuman atau pembauan disebut juga citraan
olfactory. Dengan membaca atau mendengar kata-kata tertentu, kita
seperti mencium bau sesuatu. Citraan atau pengimajian melalui indra
penciuman ini akan memperkuat kesan dan makna sebuah puisi.
Perhatikan kutipan puisi berikut yang menggunakan citraan penciuman.
Pemandangan Senjakala
Senja yang basah meredakan hutan terbakar
Kelelawar-kelelawar raksasa datang dari langit kelabu tua
Bau mesiu di udara, Bau mayat. Bau kotoran kuda.
Karya W.S. Rendra
Sumber: Horison Sastra Indonesia 1:
Kitab Puisi 2002
e. Citraan Pencicipan atau Pencecapan
Citraan pencicipan disebut juga citraan gustatory, yakni citraan
yang muncul dari puisi sehingga kita seakan-akan mencicipi suatu
benda yang menimbulkan rasa asin, pahit, asam, manis, atau pedas.
Berikut contoh larik-larik puisi yang menimbulkan citraan
pencicipan atau pencecapan.
Pembicaraan
Hari mekar dan bercahaya:
yang ada hanya sorga. Neraka
adalah rasa pahit di mulut
waktu bangun pagi

Karya Subagio Sastrowardojo

f. Citraan Gerak
Dalam larik-larik puisi, kamu pun dapat menemukan citraan
gerak atau kinestetik. Yang dimaksud citraan gerak adalah gerak
tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat
gerakan tersebut. Munculnya citraan gerak membuat gambaran puisi
menjadi lebih dinamis.
Berikut contoh citraan gerak dalam puisi.
Mimpi Pulang

Di sini aku berdiri, berteman angin
Daun-daun cokelat berguguran
Meninggalkan ranting pohon oak yang meranggas
Dingin mulai mengigit telingaku
Kuperpanjang langkah kakiku
Menyusuri trotoar yang seperti tak berujung
Di antara beton-beton tua yang tidak ramah mengawasiku
Gelap mulai merayap menyusul langkah kakiku
Ah, Gott sei dank! di sana masih ada burung-burung putih itu
Aku bagaikan pohon oak
Ditemani angin musim gugur yang masih tersisa
Karya Nuning Damayanti
Sumber: Bunga yang Terserak, 2003
3. Perasaan dalam Puisi
Puisi menggungkapkan perasaan penyair. Nada dan perasaan
penyair akan dapat kita tangkap kalau puisi itu dibaca keras dalam
pembacaan puisi atau deklamasi. Membaca puisi atau mendengarkan
pembacaan puisi dengan suara keras akan lebih membantu kita
menemukan perasaan penyair yang melatarbelakangi terciptanya puisi tersebut.
Perasaan yang menjiwai puisi bisa perasaan gembira, sedih, terharu, terasing, tersinggung, patah hati, sombong, tercekam, cemburu, kesepian, takut, dan menyesal.
Perasaan sedih yang mendalam diungkapkan oleh Chairil Anwar dalam “Senja di Pelabuhan Kecil”, J.E. Tatengkeng dalam “Anakku “, Agnes Sri Hartini dalam “Selamat Jalan Anakku”, dan Rendra dalam Orang-Orang Rangkas Bitung”.